MARWAH, bagi puak orang berbudaya Melayu, tak hanya sekadar kata yang berarti “kehormatan diri, harga diri, dan atau nama baik”. Marwah lebih lebih jauh, marwah mendorong penggunanya untuk melakukan tindakan riil seperti mengusulkan, mendesak, memerintahkan, dan memperjuangkan. Bahkan, sering terjadi orang harus melakukan perlawanan dan menentang jika ternyata marwahnya dicuaikan, ditekan, dan atau dijejasi.
Karena berkaitan erat dengan rasa bangga dan status diri, maka marwah mampu menggesa orang untuk menjadikannya sebagai tanggung jawab moral untuk diperjuangkan. Perlawanan yang dilakukan oleh Hang Jebat dan yang lebih menggemparkan lagi pembunuhan yang dilakukan oleh Megat Seri Rama terhadap Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.
Ada lagi perlawanan Raja Haji Fi Sabilillah terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga ia lebih rela syahid di medan perang, pemerintahan penjajah Belanda tidak diakui oleh para petinggi dan rakyat Kerajaan Riau-Lingga sehingga mereka rela kehilangan nyawa dan harta-benda, sekadar beberapa contoh, semuanya dilakukan demi marwah.
Marwah mengamanatkan tak boleh ada meminta-minta, apa pun bentuk dan caranya, apalagi di tanah tumpah darah kita sendiri, Riau yang kita adalah ahli waris sahnya. Begitulah daya magis marwah yang mampu membuat orang yang dalam kesehariannya kelihatan biasa-biasa saja tiba-tiba menjelma menjadi kekuatan yang maha dahsyat lagi istimewa. “Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata” itu kata orang Melayu.
Maka tidak heran serin keluar ungkapan, " jaga marwah ", " dimana letak marawah mu ". Bagi orang Melayu marwah sangat penting. Jadi marwah bagi orang Melayu, khususnya Riau tidak sekedar harga diri, jauh-jauh lebih dari itu.
Karena berkaitan erat dengan rasa bangga dan status diri, maka marwah mampu menggesa orang untuk menjadikannya sebagai tanggung jawab moral untuk diperjuangkan. Perlawanan yang dilakukan oleh Hang Jebat dan yang lebih menggemparkan lagi pembunuhan yang dilakukan oleh Megat Seri Rama terhadap Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.
Ada lagi perlawanan Raja Haji Fi Sabilillah terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga ia lebih rela syahid di medan perang, pemerintahan penjajah Belanda tidak diakui oleh para petinggi dan rakyat Kerajaan Riau-Lingga sehingga mereka rela kehilangan nyawa dan harta-benda, sekadar beberapa contoh, semuanya dilakukan demi marwah.
Marwah mengamanatkan tak boleh ada meminta-minta, apa pun bentuk dan caranya, apalagi di tanah tumpah darah kita sendiri, Riau yang kita adalah ahli waris sahnya. Begitulah daya magis marwah yang mampu membuat orang yang dalam kesehariannya kelihatan biasa-biasa saja tiba-tiba menjelma menjadi kekuatan yang maha dahsyat lagi istimewa. “Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata” itu kata orang Melayu.
Maka tidak heran serin keluar ungkapan, " jaga marwah ", " dimana letak marawah mu ". Bagi orang Melayu marwah sangat penting. Jadi marwah bagi orang Melayu, khususnya Riau tidak sekedar harga diri, jauh-jauh lebih dari itu.